Iklan Atas Artikel

Demi Jadi PNS. Istri ini Minta Cerai. 10 Tahun Kemudian Menyesal karena


"Ya tapi penghasilanmu segitu gak pasti! Jadi PNS itu enak banyak tunjangan. Sudah terjamin masa tua. Aku mikirkan anak kita. Masa ngontrak terus di rumah sepetak ini?" Begitulah kira-kira jawabnya terus nyerocos ketika ku beri pengertian. Satu kalimat aku bicara, dibalas dengan puluhan kalimat. Aku hanya menarik nafas panjang mencoba menenangkan diri.
"Keputusanku sudah bulat. Gak jelas masa depanku bersama kamu! Aku gak akan membiarkan kesempatan ini hilang gara-gara kamu." Jujur saja untuk ucapannya yang satu ini emosiku mulai tersulut. Aku sudah direndahkan sebagai suami. Dia tidak ada rasa hormat sama sekali kepadaku sebagai pemimpin keluarga.
Dengan pertimbangan cepat aku terpaksa berkata tegas. "Sebagai suami aku melarangmu pergi. Aku sudah menunaikan kewajban-kewajiban sebagai suami. Semua kebutuhan sudah aku penuhi kecuali rumah, Insyaa Allah setahun lagi nabung sudah bisa untuk DP. Jangan jadi manusia yang tak tahu bersyukur."
Belum selesai kata-kataku dia sudah membalas dengan nada tinggi." Sudah aku bilang gak ada yang bisa melarangku! Berhenti ngatur-ngatur aku. Aku gak butuh lagi suami! Aku minta cerai, repot hidup denganmu. Pokoknya besok aku berangkat. Titik!"
Di saat genting seperti itu ingin sekali rasanya mengucap Talaq Mualaq. Tetapi aku tahan. Aku memilih diam seribu bahasa. Sementara dia terus mengoceh yang tak luput dari kata-kata kasar, menyayat hati ini.
Keesokan pagi aku masih diam. Dia sudah mengemasi barang-barang. Dua koper besar sudah di depan pintu. Anakku yang berumur tiga tahun juga sudah dimandikan dan berpakaian rapi. Pagi itu aku berpikir. Bagaimana istriku bisa senekat ini. Di sana belum ada tempat tinggal. Dia juga buta dalam membaca peta google map. Dan kondisinya bawa anak.
Aku berusaha berpikir positif. Bisa jadi ini hanya gertakan. Aku melanjutkan bersiap untuk berangkat ke kantor. Ketika sedang menyendok sarapan, terdengar suara mobil di depan pagar. Mobil itu berhenti.
Dua koper diangkat oleh sopir berseragam biru. Sekujur badanku tiba-tiba dingin. Seakan dalam mimpi. Istri yang aku cintai akan pergi bersama anakku yang sedang lucu-lucunya. Segera aku berlari ke depan. Tak ada ucapan salam. Tak pula sempat lagi aku mencium anakku. Mereka pergi. Aku memandangi punggung mobil yang terus menjauh dengan perasaan terluka sakit tapi tak berdarah.
Berulang kali aku coba telpon tapi tidak diangkat. Tak terpikir lagi urusan kantor. Keluarga yang utama. Sehingga langsung ku keluarkan motor untuk menyusul ke bandara. Dengan kecepatan tinggi aku kendarai sepeda motor. Alamak! Lupa pakai helm. Aku pun berurusan dengan polisi lalu lintas. Benar-benar menyita waktuku yang tengah terburu-buru.
Aku telat. Dari kode penerbangan dia sudah di waiting room. Segala upaya ku kerahkan untuk mendapat izin dari petugas bandara. Tapi sayang hasilnya nihil. Aku tidak diizinkan.
Tak ada pilihan lain. Hari itu juga aku pesan tiket pesawat. Ada jadwal penerbangan tapi untuk besok pagi. Aku terduduk lemas di musholla. Sejenak mengadukan permasalahan hidup ini kepada Tuhan.
Usai mengurus semua pekerjaan kantor dan minta izin atasan. Aku diberi waktu dua hari cuti untuk menyelesaikan masalah ini. Keesokan harinya aku pun terbang ke pulau seberang. Belum pernah menginjakkan kaki di sana sebelumnya. Tak ada kenalan, dan tak tahu jalan. Berbekal alamat desa penempatan istriku. Aku bergegas mencari taxi atau ojek. Ternyata butuh waktu dua jam untuk tiba di tujuan.
Langkah pertamaku adalah mencari rumah kepala desa. Setelah ditanya beliau tak tahu dengan nama yang ku sebutkan. Belum ada laporan baik langsung atau dari warga. Tak berhenti sampai di sana aku memutar otak. Menggunakan aplikasi gratis dari google untuk mencari lokasi HP istriku. Lokasi ditemukan. Aku ditemani pak Kades, pak RW dan beberapa warga ke lokasi.
Setiba di lokasi yang ditunjukkan aplikasi, aku mendengar tangis anak kecil yang tak lain itu anakku. Jaraknya terpisah sekitar 2 rumah. Langkahku percepat. Semakin mendekat, terlihat sendal istriku di depan rumah seukuran tipe 36 itu. Aku persilahkan pak Kades untuk mengetuk pintu. Ketukan ke 3 kali baru nongol orang dari dalam.
Astaghfirullah.. Betapa kaget diri ini. Yang keluar adalah sosok laki-laki. Wajah yang amat aku kenali. Dia adalah mantan pacar istriku. Tak perlu minta izin, aku menerobos masuk. Aku dapati istriku tanpa mengenakan hijab, hanya memakai pakaian santai ala orang kepanasan dalam rumah.
Tatapanku tajam. Tangan terkepal keras. Aku sudah tidak butuh lagi penjelasan. Laki-laki itu sudah pucat pasi, begitupu juga dengan istriku yang terduduk diam. Saat naluriku ingin memberi 'pelajaran' hendak tersalurkan, saat itu pula si buah hati yang tadi menangis jadi reda dan memeluk kakiku erat.
Amarahku mereda. Tak ingin anakku melihat adegan kasar. Ucapan talak yang sudah diujung bibir pun ku tahan. Aku memikirkan nasib anak. "Aku bawa anak kita pulang ke kota. Sekalipun jelas kamu sudah berkhianat, aku tidak akan menceraikanmu. Pilihan ada padamu: Mau tinggal di sini atau ikut bersamaku. Untuk hukuman aku serahkan pada perangkat desa di sini. Kalian sudah tinggal di desa orang tanpa izin dan bukan suami istri berani satu rumah." Tuturku sambil menggendong si kecil.
Percuma saja aku main kekerasan. Itu tak akan merubah keadaan jadi baik, malah akan menambah permasalahan. Aku serahkan pada Yang Maha Adil untuk Mengadili. Aku pun balik ke kota bersama anak. Istri tak bisa mencegahku. Terlebih aku ditemani oleh perangkat desa. Banyak saksi mata.
Berbulan-bulan aku sudah tak mendengar kabar darinya. Cuma ada kabar dari postingannya di facebook, berfoto mengenakan pakaian dinas.


Demi Jadi PNS. Istri ini Minta Cerai. 10 Tahun Kemudian Menyesal karena
Sumber Ilustrasi: tribunnews.com
Di caption itu tertulis. "Gak ada suami. Aku bisa hidup mandiri." Banyak temannya yang berkomentar, termasuk aku. Tapi tak ditanggapi.
Singkat cerita aku berusaha mengikhlaskan setelah setahun lebih berusaha mengajaknya hidup bersama dan membuka lembaran baru, tetapi ditolaknya. Orang tua istriku pun menyarankan agar aku menikah lagi. Mereka juga geram dengan kelakuan anaknya yang tega berbuat khianat.
Aku pun akhirnya menikah lagi dengan seorang gadis yang dari fisik lebih cantik dari istriku. Sikapnya pun lemah lembut. Dia yang mau menerima keadaan dan statusku apa adanya. Siap pula dengan segala konsekuensi yang bisa saja muncul di depan.
Kami hidup bahagia. Rezeki pun berdatangan, aku membuka warung kecil-kecil yang dalam tiga tahun menjadi rumah makan berkat suntikan dana dari orang tua. Rumah makan itu bercabang dan menggurita. Terdapat di hampir seluruh kota besar. Bukan hal sulit bagiku untuk membeli rumah dan mobil mewah. Kebahagiaan ini bertambah lengkap setelah kehadiran anakku yang kedua.
Di tengah kebahagiaan membina rumah tangga yang baru. 10 tahun kemudian.. Siang itu aku mendapat email. Betapa kaget diri ini. Email itu dari istri pertama.
"Aku menyesal sudah mengkhianatimu. Aku menyesal karena sudah menyia-nyiakan suami sepertimu. Aku dengar kabar kalau kamu sekarang sudah sukses. Semoga bahagia." Begitulah kurang lebih isi emailnya.

Mari kita petik hikmah sebanyak-banyaknya dari kisah di atas. Siapa yang bermain api akan terbakar. Siapa yang bermain air akan kebasahan. Menanam keburukan kelak di masa depan akan memanen keburukan dan berujung pada penyesalan.